Thursday, December 31, 2015

31 Desember 2015

Hari ini hari terakhir di tahun 2015.

Mungkin ini saatnya untuk melakukan kontemplasi diri.
Apa saja yang sudah dilakukan selama setahun kemarin.
Apa saja yang tercapai dan belum tercapai.
Apa kesalahan yang dilakukan dan bagaimana memperbaikinya.

Mungkin ini saatnya menggantungkan harapan baru untuk tahun depan.
Membuat rencana baru, impian baru.
Mendoakan yang terbaik buat diri, keluarga dan bangsa.

Mudah-mudahan tahun depan segalanya semakin baik, aamiin.

Insya Allah.

Friday, December 4, 2015

The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo

by Yodhia Antariksa
Dikutip dari http://strategimanajemen.net/


Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya lantaran sudah hampir kolaps. Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).
Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai pelajaran.
Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).
Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun.
Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.

Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal pada tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada dalam bayang-bayang kematian.

http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo

Saturday, January 3, 2015

Penipuan di SPBU

Hari ini ketika sedang berkunjung ke kota Bandung, saya mendapatkan pengalaman yang kurang mengenakkan ketika mengisi bahan bakar di SPBU. Biasanya saya termasuk orang yang jeli ketika mengisi bensin, karena sebelumnya pernah juga hampir tertipu ketika mengisi bensin di daerah Tangerang. Tapi mungkin karena agak capek setelah menyetir jauh, kewaspadaan dan reaksi saya jadi berkurang :)

 Ceritanya begini: saya sampai di kota Bandung sekitar pukul 12.00 siang lewat tol Purbaleunyi. Karena bensin sudah menipis, sayapun segera belok ke SPBU yang saya lihat. Ketika akan mengisi Pertamax, di depan saya ada sepeda motor yang sedang mengisi Pertamax juga. Setelah sepeda motor itu selesai, kemudian giliran mobil saya yang akan diisi. Ketika sedang proses pengisian, saya baru sadar bahwa di awal tadi saya tidak ditunjukkan oleh si petugas bahwa meterannya mulai dari nol. Saya jadi curiga. Apalagi saya lihat meterannya sudah jalan agak jauh walaupun pengisian baru saja mulai. Kemudian yang membuat saya tambah curiga, si petugas mengisi bensinnya dengan cara manual. Maksudnya, tanpa memasukkan atau memprogram jumlah uang ke mesin pom bensinnya. Jadi si petugas secara manual mengisi dan mempaskan jumlah uang di meteran mesin. Kebiasaan saya kalau mengisi bensin memang dengan menyebutkan jumlah uang pembelian, misalnya Rp. 200 ribu. Jadi saya membeli bensin sejumlah Rp. 200 ribu pas, untuk menghindari kecurangan uang kembalian yang kurang dari petugas. Normalnya, si petugas akan memasukkan atau memprogram nominal 200 ribu ke mesinnya, dan mesin akan mengeluarkan bensin sampai seharga tersebut. 

Kesimpulannya, setelah sepeda motor di depan saya tadi mengisi bensin, si petugas nakal tidak me-reset meteran mesin tapi langsung melanjutkan ke kendaraan saya. Ada dua orang petugas saat itu, yang satu pura-pura mengisi dan yang satunya mengajak ngobrol saya untuk mengalihkan perhatian. 

Pengalaman sebelumnya waktu hampir tertipu ketika mengisi bensin di daerah Tangerang sebagai berikut: waktu itu saya minta tangki bensin diisi penuh. Modusnya hampir sama, satu petugas pura-pura ngajak ngobrol dan satu lagi temannya mengisikan bensin. Setelah selesai, si petugas bertanya ke saya: "Ngisinya sepuluh liter aja pak ?". Saya bilang "Oh enggak, isi penuh". Dia kemudian ngakunya salah dengar, isi penuh jadi isi sepuluh. Terus dia mulai mengisikan bensin lagi (mesinnya sudah di-reset, jadi dari nol lagi) sekitar 30 liter. Terus bilang ke saya, "sudah penuh pak, tadi yang pertama 10 liter ditambah yang ini 30 liter jadinya 40 liter". Padahal yang pertama tadi dia hanya isi 1 liter (di meteran kelihatan 1,0 L dan sepintas memang mirip 10 L). Jadi total sebenarnya dia hanya isi 31 liter, bukan 40 liter. Karena saya sadar sedang ditipu, tutup tangki saya buka lagi, benar saja isinya belum penuh. Saya bilang "penuhin lagi sampai kelihatan bensinnya di leher tangki, ini belum penuh !". Setelah diisi lagi sampai penuh, kira-kira nambah 10 liter lagi terus saya bilang "ini kapasitas tangki saya maksimum 50 liter, tadi sebelum ngisi masih ada sisa sekitar 10 liter di tangki. Nggak mungkin bisa ngisi sampai 60 liter, pasti yang pertama tadi cuma 1 liter !". Akhirnya saya cuma bayar 41 liter, bukan 50 liter seperti yang dia klaim.

 Untuk menghindari penipuan di SPBU, tips dari saya :
1. Waspada lah ... waspada lah ...   :)
2. Jangan mengisi bensin di SPBU yang kurang meyakinkan (hehehe, ini sih relatif ya)
3. Cari SPBU yang menerima kartu kredit atau kartu debet. Logika saya (entah benar atau tidak), si petugas nakal lebih sulit untuk dapat untung kalau dia tidak terima uang cash