Friday, March 28, 2008

Taksi Bandara

Kalau saya bepergian dengan pesawat terbang, salah satu hal menarik yang sering saya perhatikan adalah sistem "per-taksi-an" dan kelakuan sopir taksi di bandara tersebut.

Kalau ke bandara Juanda Surabaya, sistem taksinya resmi pakai borongan. Kita tinggal ke counter taksi resmi bandara, membayar tarif sesuai radius tujuan kita, dan naik ke taksi. Selesai. Ini sistem yang praktis dan terus terang saya paling suka yang seperti ini. Tidak ada biaya tambahan lain-lain (tol, parkir, dsb) dan si supir taksi juga nggak pernah macam-macam untuk menambah mahal ongkos. Taksinya juga seragam (hanya ada satu merk) jadi kualitasnya hampir sama semua.

Beberapa bandara lain juga pakai sistem yang sama, hanya kadang-kadang supir taksinya suka pilih-pilih penumpang yang radius tujuannya jauh. Atau kita suka di "cegat" sama sopir taksi non bandara atau taksi gelap yang juga "diijinkan" masuk bandara.

Beda lagi dengan beberapa bandara di Eropa dan Asia yang pernah saya kunjungi. Penumpang yang akan menggunakan taksi akan antri di sebuah taxi line dan kita akan mendapatkan taksi sesuai urutan antrian, apapun merk taksi tersebut. Jika di negara maju, hal ini tidak menjadi masalah karena kualitas dan pelayanan taksi hampir sama bagusnya.

Bagaimana di bandara Soekarno-Hatta ? Di bandara internasional yang menjadi pintu gerbang negara Republik Indonesia ini, sistem yang dipakai adalah "freedom to choose". Artinya para calon penumpang bebas memilih naik taksi A, taksi B, atau taksi C tanpa harus antri hanya di satu taxi line. Ada kira-kira 10 - 15 taxi line yang dibedakan menurut merk-nya. Sekarang yang menjadi masalah (paling tidak menurut saya) hanya ada 1 sampai 3 merk taksi saja yang cukup baik. Yang lainnya kurang baik (pelayanan, kondisi taksi, supir ugal-ugalan, sengaja muter-muter biar argometer nambah, dst). Akibatnya taksi-taksi baik tersebut selalu habis diserbu penumpang sehingga mau tidak mau kita harus "gambling" naik taksi yang kurang baik. Atau terpaksa naik taksi gelap / omprengan bahkan ojek yang serabutan mencari penumpang di bandara. Alternatif lain adalah naik bis Damri atau menyewa mobil yang lebih mahal.

Anyway, saran saya sebaiknya :
1. Hanya taksi-taksi baik saja yang dipertahankan di bandara.
2. Tidak ada salahnya memakai sistem borongan resmi, dari sisi pelanggan lebih ada kepastian harga dan sopir taksi tidak punya alasan untuk muter-muter supaya argo lebih mahal / minta ongkos tambahan diluar argometer.
3. Maksimalkan moda transportasi yang lain seperti bis (di negara lain, pelayanan bis-nya bisa jauh lebih baik), kereta api / MRT, dll.
4. Sebaiknya tidak perlu ada diskriminasi antara kendaraan pejabat dengan kendaraan pribadi non-pejabat dalam hal parkir / berhenti di sisi bandara (ini sih saran tambahan saja, agak nggak sreg lihat kendaraan-kendaraan pejabat boleh parkir di daerah yang terlarang untuk kendaraan lain).
5. Sepertinya nih, sudah waktunya kita punya bandara baru sebagai pintu masuk Jakarta. Bandara yang sekarang sudah terlalu ramai, fasilitasnya sudah tua / jelek, dan sangat ketinggalan dibandingkan (nggak usah jauh-jauh) bandara utama Malaysia atau Singapura. Ini sih nggak ada hubungannya sama judul di atas, tapi hanya tambahan saja seperti saran no. 4 juga.

No comments: